DAERAH, Lokacita: Walhi Jawa Barat (Jabar) menemukan fakta baru soal bencana banjir rob yang menerjang pesisir di Kecamatan Kandanghaur, Kabupaten Indramayu.
Direktur Eksekutif Walhi Jabar, Wahyudin Iwang mengatakan, musibah banjir rob di Indramayu beberapa waktu lalu itu, dinilai kembali mempertontonkan kegagalan pemerintah dalam melindungi warganya.
“Tim Desk Disaster Walhi Jabar menemukan fakta mencengangkan, bahwa tragedi yang menimpa ribuan warga ini sebenarnya dapat diminimalisir,” katanya, Rabu (12/02/2025).
Menurut Iwang, bencana tersebut dapat diminimalisir, apabila pemerintah tidak mengabaikan tanda-tanda kehancuran ekosistem pesisir selama puluhan tahun.
“Ini bukan sekadar bencana alam. Ini adalah bencana yang dipercepat oleh kebijakan pembangunan yang mengabaikan keselamatan masyarakat pesisir,” tukasnya.
Sementara itu, Tim Desk Disaster Walhi Jabar, Jundi Maulana mengaku, mendapatkan temuan tersebut usai pihaknya melakukan investigasi mendalam di lokasi bencana.
“Investigasi Walhi Jabar mengungkap fakta mengejutkan tentang skala kehancuran yang terjadi,” ujar Maulana.
Dia mengungkapkan, kehancuran yang dimaksudkan itu, tidak kurang sekira 845 jiwa menjadi korban langsung dari kebijakan yang tidak berpihak pada masyarakat.
“Di Desa Eretan Kulon saja, 135 rumah terendam dengan ketinggian air mencapai 2 meter, menenggelamkan harapan warga akan kehidupan yang aman,” ungkap Maulana.
“Dari jumlah tersebut, 8 hingga 10 rumah mengalami rusak berat dan 15 hingga 20 lainnya rusak ringan,” tambahnya.
Maulana menerangkan, kondisi ini memaksa sebanyak 104 warga mengungsi ke Kantor Desa Kertawinangun, sedangkan seorang warga mengalami luka-luka.
Yang lebih mencengangkan, dalam kurun waktu 44 tahun terakhir, Eretan telah kehilangan sekitar 10 kilometer daratannya ke laut.
“Ini bukan sekadar angka statistik, ini adalah hilangnya tanah kelahiran, rumah, dan mata pencaharian warga,” terangnya.
Maulana menjelaskan, di sepanjang pantai Eretan, hanya terdapat satu alat pemecah ombak, sebuah fakta yang mencerminkan betapa minimnya perhatian pemerintah terhadap keselamatan warga.
Tanggul yang ada pun hanyalah tanggul darurat dari batu yang mudah terkikis, tanpa ada sistem peringatan dini yang memadai.
“Aktivitas pengeboran gas alam di lepas pantai Cirebon-Indramayu oleh anak perusahaan Pertamina diduga kuat berkontribusi terhadap percepatan abrasi,” ungkapnya.
Maulana menilai, pemerintah seolah lebih mementingkan keuntungan korporasi dibanding keselamatan warganya.
“Meski pemerintah mengklaim telah memulai program relokasi dengan membangun 93 rumah pada akhir 2024, jumlah ini bagaikan setetes air di lautan mengingat ribuan warga yang terancam,” pungkasnya.





